Selasa, 29 Maret 2011

ASAL USUL SUKU MINAHASA - ANAK SUKU TONSEA

ASAL USUL SUKU MINAHASA

ANAK SUKU TONSEA

Menurut fakta- fakta penyelidikan kebudayaan dunia dan benda- benda purbakala yang terdapat di Eropa, Afrika, Asia, Amerika, maka manusia diperkirakan mulai menyebar hingga ke pelosok di muka bumi sejak 35 ribu tahun lalu.

Di tanah Minahasa sendiri kaum pendatang mempunyai ciri seperti:

1) Kaum Kuritis yang berambut keriting, Kaum Lawangirung (berhidung pesek).

2) Kaum Malesung/ Minahasa yang menurunkan suku-suku :Tonsea, Tombulu, Tompakewa, Tolour, Suku Bantenan (Pasan,Ratahan),Tonsawang, Suku Bantik masuk tanah minahasa sekitar tahun 1590 .

Suku Minahasa atau Malesung mempunyai pertalian dengan suku bangsa Filipina dan Jepang. Yang berakar pada bangsa Mongol didataran dekat Cina. Hal ini nyata tampak dalam bentuk fisik seperti mata, rambut, tulang paras, bentuk mata, dll.

Dalam bahasa, Bahasa Minahasa termasuk rumpun bahasa Filipina Tetua- tetua Minahasa menurunkan sejarah kepada turunannya melalui cerita turun temurun (biasanya dilafalkan oleh Tonaas saat kegiatan upacara membersihkan daerah dari hal- hal yang tidak baik bagi masyarakat setempat saat memulai tahun yang baru dan dari hal kegiatan tersebut diketahui bahwa Opo Toar dan Opo Lumimuut adalah nenek moyang masyarakat Minahasa, meskipun banyak versi tentang riwayat kedua orang tersebut.

Keluarga Toar Lumimuut sampai ketanah Minahasa dan berdiam disekitar gunung Wulur Mahatus, dan berpindah ke Watuniutakan (dekat Tompaso Baru sekarang dan dengan kehidupan pertanian yang sarat dengan usaha bersama dengan saudara sekeluarga/ taranak tampak dari berbagai versi tarian Maengket) Sampai pada suatu saat keluarga bertambah jumlahnya maka perlu diatur mengenai interaksi sosial didalam komunitas tersebut, yang melalui kebiasaan peraturan dalam keturunannya nantinya menjadi kebudayaan Minahasa.

Demikian juga dengan isme atau kepercayaan akan sesuatu yang lebih berkuasa atas manusia sudah dijalankan diMinahasa sejak awal.

Tingkatan atau status sosial diatur sbb :

1) Golongan Makasiow (pengatur ibadah yang disebut Walian/ Tonaas) hingga saat ini istilah yang dipakai adalah 2 X 9 ( 9 orang tonaas yang menempati posisi antara Sang penguasa dengan Surga dan Bumi, Baik tidak Baik, dan semua hal tentang keseimbangan Golongan Makatelu pitu (pengatur/ pemerintah dengan gelar Patu’an atau 3 X 7 Teterusan/ kepala desa dan pengawal desa disebut Waranei ( 7 orang pengatur/ pemerintah).

2) Golongan Makasiow Telu 9 x 9
Seiring waktu, jumlah penduduk bertambah, tempat tinggal mulai padat dan lahan terbatas, maka keturunan Toarlumimuut berpencar tumani (membuka lahan baru)untuk kelangsungan taranak mereka serta Golongan Pasiyowan Telu (rakyat)

Sejak awal bangsa Minahasa tiada pernah terbentuk kerajaan atau mengangkat seorang raja sebagai kepala pemerintahan. Kepala pemerintah adalah kepala keluarga yang gelarnya adalah Paedon Tu’a atau Patu’an yang sekarang kita kenal dengan sebutan Hukum Tua. Kata ini berasal dari Ukung Tua yang berarti Orang tua yang melindungi. Ukung artinya kungkung = lindung = jaga. Tua = dewasa dalam usia, berpikir, serta didalam mengambil Kehidupan demokrasi dan kerakyatan terjamin Ukung Tua tidak boleh memerintah rakyat dengan sewenang-wenang karena rakyat itu adalah anak-anak dan cucu-cucunya, keluarganya sendiri Sebelum membuka perkebunan, berunding dahulu dan setelah itu dilakukan harus dengan mapalus. Didalam bekerja terdapat pengatur atau pengawas yang di Tonsea disebut Mopongkol atau Rumarantong, di Tolour disebut Sumesuweng.

Di Minahasa tidak dikenal sistem perbudakan, sebagaimana lazimnya di daerah lain pada saman itu, seperti di kerajaan Bolaang,Sangir, Tobelo, Tidore dll. Hal ini membuat beberapa dari golongan Walian Makaruwa Siyow (eksekutif ingin diperlakukan sebagai raja) seperti raja Bolaang, raja Ternate, raja Sanger yang mereka dengar dan temui disaat barter bahan bahan keperluan rumah tangga.

Setelah cara tersebut dicoba diterapkan dimasyarakat Minahasa oleh beberapa walian/hukum tua timbul perlawanan yang memicu terjadinya pemberontakan serentak di seluruh Minahasa oleh golongan rakyat /Pasiyowan Telu, Alasannya karena, bukanlah adat pemerintahan yang diturunkan Opo Toar Lumimuut, dimana kekuasaan dijalankan dengan sewenang-wenang.

Akibat pemberontakkan itu, Tatanan kehidupan di Minahasa menjadi tidak menentu, peraturan tidak diindahkan, adat istiadat rusak, Perebutan tanah pertanian antar keluarga. Hal ini membuat golongan makarua/makadua siow (tonaas) merasa perlu mengambil tindakan pencegahan dengan mengupayakan musyawarah raya yang dimotori oleh Tonaas-tonaas senior dari seluruh Minahasa di Watu Pinabetengan.

Luas Minahasa pada jaman ini adalah dari pantai likupang, Bitung sampai ke muara sungai Ranoyapo ke gunung Soputan, gunung Kawatak dan sungai Rumbia Wilayah setelah sungai Ranoyapo dan Poigar, Tonsawang, Ratahan, Ponosakan adalah termasuk wilayah kerajaan Bolaang Mongondow, sampai kira-kira abad ke 14. Dalam musyawarah yang dihadiri oleh seluruh keturunan Toar Lumimuut, memilih Tonaas Kopero dari Tompakewa sebagai ketua yang dibantu anggota Tonaas Muntuuntu dari Tombulu dan Tonaas Mandey dari Tonsea, mereka bertugas untuk konsolidasi ketiga golongan Minahasa tsb.

Hasil-hasil musyawarah tsb, pada sebagian orang dikaitkan dengan nama tempat berlangsung musyawarah yang dikenal saat sekarang dengan Watu Pinawetengan (batu tempat dimana mereka bersatu untuk kemudian membagi) bertujuan untuk mengembalikan adat yang diwariskan Toar Lumimuut. 9 pokok hasil musyawarah yaitu:

Kepala pemerintahan dipilih dari yang tua, jujur, berani, wibawa, kuat dan berani maju dalam segala hal, segala usaha harus dimusyawarahkan.

Dewan tua-tua (Patuosan) yang mengawasi jalannya pemerintahan oleh Hukum Tua, Mempertahankan kebiasaan yang sudah baik. Kenaramen memperketat wibawa orang tua kepada anak-anak perempuan dan laki-laki sama kedudukannya, Pesan tua-tua jangan diremehkan.

Sejak saat itu pemerintahan di Minahasa dipegang oleh Rakyat (Pasiowan Telu) karena demokrasi mulai diterapkan
Keputusan penting yang lain adalah membagai wilayah Minahasa menjadi 4 wilayah, yaitu :

1. Tontewoh.

2. Tombulu.

3. Tompakewa.

4. Tolour.

Istilah Tontewoh diganti Tonsea pada tahun 1679 sedangkan istilah Tompakewa diganti Tontemboan pada tahun 1875.

Setelah selesai musyawarah di Watu Pinabetengan, setiap anak suku Tanah Malesung/ Minahasa yaitu 4 anak suku yang merdeka dan dipimpin tonaas masing masing kembali dengan para walak ( pemerintahan otonom) kumpulan beberapa desa/ wanua. Suku Tonsea dipimpin Tonaas Walalangi dan Tonaas Rogi berangkat menuju ke arah Timur Laut disebelah Timur Tenggari.

Suku Tombulu ke Utara dipimpin Tonaas Walian Mapumpun, Tonaas Belung da Tonaas Kekeman ke Majesu.
Suku Tolour berangkat ke Timur ke Atep dipimpin Tonaas Singal.

Suku Tontemboan berangkat ke Barat Laut menempati Kaiwasian sekitar Tombasian.

Anak suku Tonsea dari Niaranan, suku Tonsea pindah ke Kembuan. Di daerah tersebut banyak tumbuh kayu sea yang digunakan sebagai obat. Itulah sebabnya mereka menyebut suku mereka Tou un sea atau Tonsea.

Keluarga dari Kembuan sebagai berikut:

1. Keluarga Tonaas Rurugala menempati daerah Walantakan.

2. Keluarga Tonaas Wenas menempati daerah Sinalahan.

3. Keluarga Tonaas Roringtudus menempati daerah Tiwoho.

4. Keluarga Tonaas Maramis menempati daerah Kinarepuan.

5. Keluarga Tonaas Roringwailan menempati daerah Kuhun.

6. Keluarga Tonaas Sigarlaki dan Tonaas Maidangkai menempati daerah Maandon.

7. Keluarga Tonaas Runtukahu, menempati daerah Kumelembuai.

8. Keluarga Tonaas Kapongoan dan Tonaas Dotulung menempati daerah Kema.

Abad ke-15 Tonaas Dotulung, Tonaas Tidajoh, Tonaas Koagou menguasai daerah Dimembe. Salah satu hal yang menonjol di Tonsea adalah tetap adanya satu walak/ anak suku Tonsea. Tonsea tetap utuh satu dibawah Tonaas Dotulung yang kemudian namanya dirubah menjadi Dotulong.

Sumber: Kawanua

TARIAN DAERAH MINAHASA CULTURE DANCE OF MINAHASA

­

Di zaman yang sudah terbilang modern ini, banyak kalangan mudah sudah meninggalkan ke aslian, ke khas-an dari daerahnya sendiri, banyak anak mudah yang melupakan sejarah, budaya, kehidupan sosial dan juga bahasa daerahnya, mungkin itu karena jiwa moderenisasi ataupun bisa jadi karena gengsi kalau harus menyanyikan ataupun hanya sekedar tau sejarah tentang tanah kelahirannya sendiri, serta malu berkomunikasi dengan bahasa daerahnya. Pelestarian budaya saat ini semakin terkikis oleh pengaruh globalisasi. Ironis skali jika kita mengabaikan sejarah tanah leluhur kita, siapa lagi yang meneruskan sejarah tanah kelahiran ke generasi selanjutnya, kalau bukan kita sendiri. Menyanyikan ataupun menari tarian daerah mungkin terbilang kaku untuk kalangan muda, mereka lebih asyik dengan lagu yang hitz di zamannya dan tarian yang lebih modern lagi, mungkin hanya bisa menari dengan irama lagu yang di bilang “ajep-ajep” ^_^. Clubbing choooii JJJ

Sebagai bukti cinta penulis kepada tanah leluhur KINATOUANKU MINAHASA penulis mencoba menjabarkan secara singkat dan jelas berbagai tarian beserta sastra tarian yang ada di MINAHASA. Dengan tujuan untuk memperbanyak lagi referensi tentang tarian Daerah yang ada di Minahasa.

Tarian Minahasa antara lain adalah :

1. Tari Maengket. Maengket adalah tari tradisional Minahasa dari Zaman dahulu kala dan sampai saat ini masi berkembang. Tarian ini sudah ada dan di kenal di tanah Minahasa sejak rakyat Minahasa mengenal pertanian, tarian ini dilakukan leluhur kita pada saat panen padi di lading dengan menggunakan gerakan-gerakan yang sederhana. Namun sekarang bentuk dan tarian Maengket telah berkembang tanpa meninggalkan keasliannya, terutama syair dan sastra lagunya. Tari Maengket adalah perpaduan antara gerak tari dan nyanyian yang saat ini kian popular bagi Tou Minahasa (Orang Minahasa), dari anak-anak hingga dewasa. Tarian Maengket selalu menjadi bagian dalam suatu rangkaian kegiatan yang dilaksanakan. Pelestarian budaya dalam hal ini adalah tarian Maengket dilakukan dengan membuka sanggar-sanggar tari,

2. Tari Lenso. Tari Lenso adalah tarian pergaulan muda-mudi rakyat Minahasa. Tarian ini menceritakan bagaimana seorang pemuda Minahasa mencari jodohnya atau calon istri. Dalam tarian ini, yang menjadi perantara adalah lenso atau selendang. Pada saat si pemuda mau melamar sang gadis dengan memberikan lenso pada sang gadis, apabila lenso atau selendang di buang berarti lamarannya di tolak, dan sebaliknya jika lenso diterima oleh sang gadis berarti cintanya diterima JJJJ.

3. Tari Katrili adalah salah satu tatri yang dibawa oleh Bangsa Spanyol pada waktu mereka dating dengan maksud untuk membeli hasil bumi yang ada ditanah Minahasa. Karena mendapatkan hasil yang banyak mereka menari-nari tarian Katrili. Lama kelamaan mereka mengundang seluruh rakyat Minahasa yang menjual hasil bumi mereka dengan menari bersama-sama sambil mengikuti irama musik dan aba-aba. Tarian ini bole juga dibawakan pada waktu acara pesta perkawinan di Tanah Minahasa. Sekembalinya Bangsa Spanyol, tarian Kantrili ini terus di gemari oleh Rakyat Minahasa. Tari Katrili termasuk tari modern yang sifatnya kerakyatan, setiap wisatawan nusantara maupun mancanegara yang berkunjung ke Sulawesi utara seringkali disuguhi dengan tarian ini.

4. Tari Kabasaran adalah tarian keprajuritan tradisional Minahasa, yang diangkat dari kata wasal yang berarti ayam jantan yang dipotong jenggernya agar supaya sang ayam menjadi lebih garang dalam bertarung. Tarian ini diiringi oleh suara tambur (gong kecil). Alat musik seperti gong, kolintang di sebut “ pa wasalen ” dan para penarinya disebut kawasalan yang berarti menari dengan meniru gerakan dua ayam jantan yang sedang bertarung. Menari dengan pakaian serba merah, mata melotot, wajah garang, sambil membawa pedang dan tombak tajam, membuat tarian kabasaran amat berbeda dengan tarian pada umumnya yang mengumbar senyum dan gerakan yang lemah gemulai.

Kata Kawasalan ini kemudian berkembang menjadi Kabasaran yang merupakan gabungan dua kata “Kawasal ni Sarian” “Kawasal” berarti menemani dan mengikuti gerak tari, sedangkan “Sarian” adalah pemimpin perang yang memimpin tari keprajuritan tradisional Minahasa. Perkembangan bahasa melayu Manado kemudian mengubah huruf “W” menjadi “B” sehingga kata itu berubah menjadi Kabasaran, yang sebenarnya tidak memiliki keterkaitan apa-apa dengan kata “besar” dalam bahasa Indonesia, namun akhirnya menjadi tarian penjemput bagi para Pembesar-pembesar.

Pada jaman dahulu para penari Kabasaran, hanya menjadi penari pada upacara-upacara adat. Namun, dalam kehidupan sehari-harinya mereka adalah petani. Apabila Minahasa berada dalam keadaan perang, maka para penari kabasaran menjadi Waranei (prajurit perang). Bentuk dasar dari tarian ini adalah sembilan jurus pedang (santi) atau sembilan jurus tombak (wengkouw) dengan langkah kuda-kuda 4/4 yang terdiri dari dua langkah ke kiri, dan dua langkah ke kanan.


Penari Kabasaran

Tiap penari kabasaran memiliki satu senjata tajam yang merupakan warisan dari leluhurnya yang terdahulu, karena penari kabasaran adalah penari yang turun temurun. Tarian ini umumnya terdiri dari tiga babak (sebenarnya ada lebih dari tiga, hanya saja, sekarang ini sudah sangat jarang dilakukan). Babak – babak tersebut terdiri dari :

1. Cakalele, yang berasal dari kata “saka” yang artinya berlaga, dan “lele” artinya berkejaran melompat – lompat. Babak ini dulunya ditarikan ketika para prajurit akan pergi berperang atau sekembalinya dari perang. Atau, babak ini menunjukkan keganasan berperang pada tamu agung, untuk memberikan rasa aman pada tamu agung yang datang berkunjung bahwa setan-pun takut mengganggu tamu agung dari pengawalan penari Kabasaran.

2. Babak kedua ini disebut Kumoyak, yang berasal dari kata “koyak” artinya, mengayunkan senjata tajam pedang atau tombak turun naik, maju mundur untuk menenteramkan diri dari rasa amarah ketika berperang. Kata “koyak” sendiri, bisa berarti membujuk roh dari pihak musuh atau lawan yang telah dibunuh dalam peperangan.

3. Lalaya’an. Pada bagian ini para penari menari bebas riang gembira melepaskan diri dari rasa berang seperti menari “Lionda” dengan tangan dipinggang dan tarian riang gembira lainnya. Keseluruhan tarian ini berdasarkan aba-aba atau komando pemimpin tari yang disebut “Tumu-tuzuk” (Tombulu) atau “Sarian” (Tonsea). Aba-aba diberikan dalam bahasa sub–etnik tombulu, Tonsea, Tondano, Totemboan, Ratahan, Tombatu dan Bantik. Pada tarian ini, seluruh penari harus berekspresi Garang tanpa boleh tersenyum, kecuali pada babak lalayaan, dimana para penari diperbolehkan mengumbar senyum riang.


Penari Kabasaran

Busana yang digunakan dalam tarian ini terbuat dari kain tenun Minahasa asli dan kain “Patola”, yaitu kain tenun merah dari Tombulu dan tidak terdapat di wilayah lainnya di Minahasa, seperti tertulis dalam buku Alfoersche Legenden yang di tulis oleh PN. Wilken tahun 1830, dimana kabasaran Minahasa telah memakai pakaian dasar celana dan kemeja merah, kemudian dililit ikatan kain tenun. Dalam hal ini tiap sub-etnis Minahasa punya cara khusus untuk mengikatkan kain tenun. Khusus Kabasaran dari Remboken dan Pareipei, mereka lebih menyukai busana perang dan bukannya busana upacara adat, yakni dengan memakai lumut-lumut pohon sebagai penyamaran berperang.

Sangat disayangkan bahwa sejak tahun 1950-an, kain tenun asli mulai menghilang sehingga kabasaran Minahasa akhirnya memakai kain tenun Kalimantan dan kain Timor karena bentuk, warna dan motifnya mirip kain tenun Minahasa seperti : Kokerah, Tinonton, Pasolongan, Bentenen. Topi Kabasaran asli terbuat dari kain ikat kepala yag diberi hiasan bulu ayam jantan, bulu burung Taong dan burung Cendrawasih. Ada juga hiasan tangkai bunga kano-kano atau tiwoho. Hiasan ornamen lainnya yang digunakan adalah “lei-lei” atau kalung-kalung leher, “wongkur” penutup betis kaki, “rerenge’en” atau giring-giring lonceng (bel yang terbuat dari kuningan).

Pada jaman penjajahan Belanda tempo dulu , ada peraturan daerah mengenai Kabasaran yang termuat dalam Staatsblad Nomor 104 B, tahun 1859 yang menetapkan bahwa

1. Upacara kematian para pemimpin negeri (Hukum Basar, Hukum Kadua, Hukum Tua) dan tokoh masyarakat, mendapat pengawalan Kabasaran. Juga pada perkawinan keluarga pemimpin negeri.

2. Pesta adat, upacara adat penjemputan tamu agung pejabat tinggi Belanda Residen, kontrolir oleh Kabasaran.

3. Kabasaran bertugas sebagai “Opas” (Polisi desa).

4. Seorang Kabasaran berdinas menjaga pos jaga untuk keamanan wilayah setahun 24 hari.


Kabasaran yang telah ditetapkan sebagai polisi desa dalam Staatsblad tersebut diatas, akhirnya dengan terpaksa oleh pihak belanda harus ditiadakan pada tahun 1901 karena saat itu ada 28 orang tawanan yang melarikan diri dari penjara Manado. Untuk menangkap kembali seluruh tawanan yang melarikan diri tersebut, pihak Belanda memerintahkan polisi desa, dalam hal ini Kabasaran, untuk menangkap para tawanan tersebut. Namun malang nasibnya para tawanan tersebut, karena mereka tidak ditangkap hidup-hidup melainkan semuanya tewas dicincang oleh Kabasaran. Para Kabasaran pada saat itu berada dalam organisasi desa dipimpin Hukum Tua. Tiap negeri atau kampung memiliki sepuluh orang Kabasaran salah satunya adalah pemimpin dari regu tersebut yang disebut “Pa’impulu’an ne Kabasaran”. Dengan status sebagai pegawai desa, mereka mendapat tunjangan berupa beras, gula putih, dan kain.

Sungguh mengerikan para Kabasaran pada waktu itu, karena meski hanya digaji dengan beras, gula putih, dan kain, mereka sanggup membantai 28 orang yang seluruhnya tewas dengan luka-luka yang mengerikan.