Selasa, 29 Maret 2011

TARIAN DAERAH MINAHASA CULTURE DANCE OF MINAHASA

­

Di zaman yang sudah terbilang modern ini, banyak kalangan mudah sudah meninggalkan ke aslian, ke khas-an dari daerahnya sendiri, banyak anak mudah yang melupakan sejarah, budaya, kehidupan sosial dan juga bahasa daerahnya, mungkin itu karena jiwa moderenisasi ataupun bisa jadi karena gengsi kalau harus menyanyikan ataupun hanya sekedar tau sejarah tentang tanah kelahirannya sendiri, serta malu berkomunikasi dengan bahasa daerahnya. Pelestarian budaya saat ini semakin terkikis oleh pengaruh globalisasi. Ironis skali jika kita mengabaikan sejarah tanah leluhur kita, siapa lagi yang meneruskan sejarah tanah kelahiran ke generasi selanjutnya, kalau bukan kita sendiri. Menyanyikan ataupun menari tarian daerah mungkin terbilang kaku untuk kalangan muda, mereka lebih asyik dengan lagu yang hitz di zamannya dan tarian yang lebih modern lagi, mungkin hanya bisa menari dengan irama lagu yang di bilang “ajep-ajep” ^_^. Clubbing choooii JJJ

Sebagai bukti cinta penulis kepada tanah leluhur KINATOUANKU MINAHASA penulis mencoba menjabarkan secara singkat dan jelas berbagai tarian beserta sastra tarian yang ada di MINAHASA. Dengan tujuan untuk memperbanyak lagi referensi tentang tarian Daerah yang ada di Minahasa.

Tarian Minahasa antara lain adalah :

1. Tari Maengket. Maengket adalah tari tradisional Minahasa dari Zaman dahulu kala dan sampai saat ini masi berkembang. Tarian ini sudah ada dan di kenal di tanah Minahasa sejak rakyat Minahasa mengenal pertanian, tarian ini dilakukan leluhur kita pada saat panen padi di lading dengan menggunakan gerakan-gerakan yang sederhana. Namun sekarang bentuk dan tarian Maengket telah berkembang tanpa meninggalkan keasliannya, terutama syair dan sastra lagunya. Tari Maengket adalah perpaduan antara gerak tari dan nyanyian yang saat ini kian popular bagi Tou Minahasa (Orang Minahasa), dari anak-anak hingga dewasa. Tarian Maengket selalu menjadi bagian dalam suatu rangkaian kegiatan yang dilaksanakan. Pelestarian budaya dalam hal ini adalah tarian Maengket dilakukan dengan membuka sanggar-sanggar tari,

2. Tari Lenso. Tari Lenso adalah tarian pergaulan muda-mudi rakyat Minahasa. Tarian ini menceritakan bagaimana seorang pemuda Minahasa mencari jodohnya atau calon istri. Dalam tarian ini, yang menjadi perantara adalah lenso atau selendang. Pada saat si pemuda mau melamar sang gadis dengan memberikan lenso pada sang gadis, apabila lenso atau selendang di buang berarti lamarannya di tolak, dan sebaliknya jika lenso diterima oleh sang gadis berarti cintanya diterima JJJJ.

3. Tari Katrili adalah salah satu tatri yang dibawa oleh Bangsa Spanyol pada waktu mereka dating dengan maksud untuk membeli hasil bumi yang ada ditanah Minahasa. Karena mendapatkan hasil yang banyak mereka menari-nari tarian Katrili. Lama kelamaan mereka mengundang seluruh rakyat Minahasa yang menjual hasil bumi mereka dengan menari bersama-sama sambil mengikuti irama musik dan aba-aba. Tarian ini bole juga dibawakan pada waktu acara pesta perkawinan di Tanah Minahasa. Sekembalinya Bangsa Spanyol, tarian Kantrili ini terus di gemari oleh Rakyat Minahasa. Tari Katrili termasuk tari modern yang sifatnya kerakyatan, setiap wisatawan nusantara maupun mancanegara yang berkunjung ke Sulawesi utara seringkali disuguhi dengan tarian ini.

4. Tari Kabasaran adalah tarian keprajuritan tradisional Minahasa, yang diangkat dari kata wasal yang berarti ayam jantan yang dipotong jenggernya agar supaya sang ayam menjadi lebih garang dalam bertarung. Tarian ini diiringi oleh suara tambur (gong kecil). Alat musik seperti gong, kolintang di sebut “ pa wasalen ” dan para penarinya disebut kawasalan yang berarti menari dengan meniru gerakan dua ayam jantan yang sedang bertarung. Menari dengan pakaian serba merah, mata melotot, wajah garang, sambil membawa pedang dan tombak tajam, membuat tarian kabasaran amat berbeda dengan tarian pada umumnya yang mengumbar senyum dan gerakan yang lemah gemulai.

Kata Kawasalan ini kemudian berkembang menjadi Kabasaran yang merupakan gabungan dua kata “Kawasal ni Sarian” “Kawasal” berarti menemani dan mengikuti gerak tari, sedangkan “Sarian” adalah pemimpin perang yang memimpin tari keprajuritan tradisional Minahasa. Perkembangan bahasa melayu Manado kemudian mengubah huruf “W” menjadi “B” sehingga kata itu berubah menjadi Kabasaran, yang sebenarnya tidak memiliki keterkaitan apa-apa dengan kata “besar” dalam bahasa Indonesia, namun akhirnya menjadi tarian penjemput bagi para Pembesar-pembesar.

Pada jaman dahulu para penari Kabasaran, hanya menjadi penari pada upacara-upacara adat. Namun, dalam kehidupan sehari-harinya mereka adalah petani. Apabila Minahasa berada dalam keadaan perang, maka para penari kabasaran menjadi Waranei (prajurit perang). Bentuk dasar dari tarian ini adalah sembilan jurus pedang (santi) atau sembilan jurus tombak (wengkouw) dengan langkah kuda-kuda 4/4 yang terdiri dari dua langkah ke kiri, dan dua langkah ke kanan.


Penari Kabasaran

Tiap penari kabasaran memiliki satu senjata tajam yang merupakan warisan dari leluhurnya yang terdahulu, karena penari kabasaran adalah penari yang turun temurun. Tarian ini umumnya terdiri dari tiga babak (sebenarnya ada lebih dari tiga, hanya saja, sekarang ini sudah sangat jarang dilakukan). Babak – babak tersebut terdiri dari :

1. Cakalele, yang berasal dari kata “saka” yang artinya berlaga, dan “lele” artinya berkejaran melompat – lompat. Babak ini dulunya ditarikan ketika para prajurit akan pergi berperang atau sekembalinya dari perang. Atau, babak ini menunjukkan keganasan berperang pada tamu agung, untuk memberikan rasa aman pada tamu agung yang datang berkunjung bahwa setan-pun takut mengganggu tamu agung dari pengawalan penari Kabasaran.

2. Babak kedua ini disebut Kumoyak, yang berasal dari kata “koyak” artinya, mengayunkan senjata tajam pedang atau tombak turun naik, maju mundur untuk menenteramkan diri dari rasa amarah ketika berperang. Kata “koyak” sendiri, bisa berarti membujuk roh dari pihak musuh atau lawan yang telah dibunuh dalam peperangan.

3. Lalaya’an. Pada bagian ini para penari menari bebas riang gembira melepaskan diri dari rasa berang seperti menari “Lionda” dengan tangan dipinggang dan tarian riang gembira lainnya. Keseluruhan tarian ini berdasarkan aba-aba atau komando pemimpin tari yang disebut “Tumu-tuzuk” (Tombulu) atau “Sarian” (Tonsea). Aba-aba diberikan dalam bahasa sub–etnik tombulu, Tonsea, Tondano, Totemboan, Ratahan, Tombatu dan Bantik. Pada tarian ini, seluruh penari harus berekspresi Garang tanpa boleh tersenyum, kecuali pada babak lalayaan, dimana para penari diperbolehkan mengumbar senyum riang.


Penari Kabasaran

Busana yang digunakan dalam tarian ini terbuat dari kain tenun Minahasa asli dan kain “Patola”, yaitu kain tenun merah dari Tombulu dan tidak terdapat di wilayah lainnya di Minahasa, seperti tertulis dalam buku Alfoersche Legenden yang di tulis oleh PN. Wilken tahun 1830, dimana kabasaran Minahasa telah memakai pakaian dasar celana dan kemeja merah, kemudian dililit ikatan kain tenun. Dalam hal ini tiap sub-etnis Minahasa punya cara khusus untuk mengikatkan kain tenun. Khusus Kabasaran dari Remboken dan Pareipei, mereka lebih menyukai busana perang dan bukannya busana upacara adat, yakni dengan memakai lumut-lumut pohon sebagai penyamaran berperang.

Sangat disayangkan bahwa sejak tahun 1950-an, kain tenun asli mulai menghilang sehingga kabasaran Minahasa akhirnya memakai kain tenun Kalimantan dan kain Timor karena bentuk, warna dan motifnya mirip kain tenun Minahasa seperti : Kokerah, Tinonton, Pasolongan, Bentenen. Topi Kabasaran asli terbuat dari kain ikat kepala yag diberi hiasan bulu ayam jantan, bulu burung Taong dan burung Cendrawasih. Ada juga hiasan tangkai bunga kano-kano atau tiwoho. Hiasan ornamen lainnya yang digunakan adalah “lei-lei” atau kalung-kalung leher, “wongkur” penutup betis kaki, “rerenge’en” atau giring-giring lonceng (bel yang terbuat dari kuningan).

Pada jaman penjajahan Belanda tempo dulu , ada peraturan daerah mengenai Kabasaran yang termuat dalam Staatsblad Nomor 104 B, tahun 1859 yang menetapkan bahwa

1. Upacara kematian para pemimpin negeri (Hukum Basar, Hukum Kadua, Hukum Tua) dan tokoh masyarakat, mendapat pengawalan Kabasaran. Juga pada perkawinan keluarga pemimpin negeri.

2. Pesta adat, upacara adat penjemputan tamu agung pejabat tinggi Belanda Residen, kontrolir oleh Kabasaran.

3. Kabasaran bertugas sebagai “Opas” (Polisi desa).

4. Seorang Kabasaran berdinas menjaga pos jaga untuk keamanan wilayah setahun 24 hari.


Kabasaran yang telah ditetapkan sebagai polisi desa dalam Staatsblad tersebut diatas, akhirnya dengan terpaksa oleh pihak belanda harus ditiadakan pada tahun 1901 karena saat itu ada 28 orang tawanan yang melarikan diri dari penjara Manado. Untuk menangkap kembali seluruh tawanan yang melarikan diri tersebut, pihak Belanda memerintahkan polisi desa, dalam hal ini Kabasaran, untuk menangkap para tawanan tersebut. Namun malang nasibnya para tawanan tersebut, karena mereka tidak ditangkap hidup-hidup melainkan semuanya tewas dicincang oleh Kabasaran. Para Kabasaran pada saat itu berada dalam organisasi desa dipimpin Hukum Tua. Tiap negeri atau kampung memiliki sepuluh orang Kabasaran salah satunya adalah pemimpin dari regu tersebut yang disebut “Pa’impulu’an ne Kabasaran”. Dengan status sebagai pegawai desa, mereka mendapat tunjangan berupa beras, gula putih, dan kain.

Sungguh mengerikan para Kabasaran pada waktu itu, karena meski hanya digaji dengan beras, gula putih, dan kain, mereka sanggup membantai 28 orang yang seluruhnya tewas dengan luka-luka yang mengerikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar